Sebuah Resensi
oleh:
Ismail Syakban, S.Pd.I
Menerawang kepada kondisi pendidikan pada mutakhir ini, maka kita
akan menemukan keadaan pendidikan yang sungguh mengkhawatirkan. Karena terjadinya
kemunduran dalam berbagai hal, salah satu pakar pendidikan menyebutnya dengan
krisis moral. Sealur dengan itu, Dr. Arif Rahman seorang tokoh pendidikan
mengutarakan bahwa seharusnya aspek afektif juga berperan urgen dalam
menentukan kelulusan peserta didik, tidak hanya dari hasil potensi akademik
saja.
Ahmad Tafsir juga mengemukakan kegelisahannya bahwa kemerosotan
pendidikan berakar dari salahnya konseptor dalam mengkonsep kurikulum
pendidikan. Hal itu terjadi karena konseptor pendidikan terjebak dengan
epistimologi Barat yang merasuk kedalam dunia pendidikan.
Berkenaan dengan pendidikan karakter di Indonesia, maka ada dua
aspek yang sangat urgen dan perlu mendapat perhatian intensif dari pemerhati
pendidikan yaitu; aspek agama dan aspek budaya bangsa.
Persoalan Manusia
Hal pertama yang dibicarakan dalam dunia pendidikan adalah manusia.
Eksistensi manusia dalam pendidikan sebagai subjek pendidikan dan objek
pendidikan, artinya manusialah sebagai pendidik dan manusia pula sebagai peserta
didik. Namun ada hal-hal tertentu yang membedakan kedua hal tersebut, yaitu
seputar bentuk tugas dan kewajiban.
Membicarakan ontologi manusia, maka kita akan menelusuri dua gerbang,
yaitu manusia menurut manusia dan manusia menurut Al-Qur’an. Manusia dalam
pandangan manusia itupun terkapling kedalam dua kelompok, yaitu kelompok
pemikir atau ilmuan Barat dan kelompok pemikir atau ilmuan Islam.
Pemikir barat seperti Charles Darwin memberikan definisi dan
hakikat manusia adalah sama dengan hewan (senenek moyang dengan kera), sedangkan
Jhon Lokce memberikan pandangan bahwa manusia dilahirkan dalam keadaan suci dan
manusia itulah yang akan menentukan diri mereka sediri. Dalam menelaah
pemikiran barat tersebut, timbullah kegelisahan pada pemikir dan ilmuan Islam,
karena mereka memiliki pengertian tentang manusia yang berbeda. Seperti Fahruddin
Ar-Razi yang mendeklarasikan pendapatnya bahwa manusia memiliki beberapa
karakteristik yang khas, manusia berbeda dengan makhluk lain, karena manusia
memiliki akal, hikmah, tabiat dan nafsu. Merekapun menjawab pemikir barat itu
dengan mencoba menelurkan pengertian hakikat manusia, bahwa manusia lahir
sebagai makhluk suci dan membawa fitrah ketaqwaan sejak lahir.
Ditengah pertentangan yang terjadi, Al-Qur’an menjadi penengah
diantara kedua kubu ini. Dengan gamblang dan jelas melalui ayat-ayatNya,
Al-Qur’an mengklarifikasi tentang hakikat manusia. Al-Qur’an menerangkan bahwa
manusia lahir membawa fitrah ketaqwaan, lahir dalam keadaan suci serta berbeda
dengan makhluk lain. Beribadah dan menjadi Khalifah fil ardh adalah
tanggung jawab manusia sebagai makhluk ciptaanNya.
Pendidikan Islam dalam Membentuk Karakter Manusia
Pendidikan Islam berusaha melalui ambisinya akan menelurkan manusia
yang berkarakter, berakal, amanah, cerdas, berilmu dan bertaqwa. Dan semua itu
akan didapat dengan beberapa aspek, yaitu; pendidikan Tauhid, pendidikan Sosial
Islam dan Peneguhan kepada ajaran Islam.
Aspek-aspek tersebut ditancapkan dalam pribadi manusia (peserta
didik) melalui metode penanaman nilai-nilai (transfer of values and transfer
of knowledge). Metode tersebut direalisasikan melalui jalur konsep ta’dib
(Al-Attas), konsep Tarbiyah (Zakiah Drajat) dan konsep ta’lim.
Hakikatnya, ketiga konsep tersebut sama dalam hal realisasinya, namun ada
sedikit ikhtilaf para pemikir dalam hal penekanan-penekanan tertentu
yang berorientasi kepada tujuan pendidikan tersebut.
Berbicara mengenai tujuan pendidikan, kita menemui dua pendapat
yaitu; pertama, Al-Attas dengan pendapatnya bahwa tujuan pendidikan
adalah mengembalikan menusia (peserta didik) kepada fitrahnya. Dan kedua
Othanel Smith bahwa tujuan pendidikan adalah meningkatkan intelektual manusia
(peserta didik). Namun Al-Attas lebih mendetailisasi pendapatnya bahwa untuk
mengembalikan manusia (peserta didik) kepada fitrahnya, maka perlu ada
pandangan teoritis yang berorientasi kepada kemasyarakatan dan berorientasi
pula kepada individu.
Kedua tujuan tersebut dikombinasikan dan menghasilkan asumsi bahwa
setelah mengikuti proses pendidikan maka akan lahirlah manusia (peserta didik)
yang sesuai dengan fitrahnya serta memiliki tingkat intelektual yang teruji.
Untuk mencapai tujuan itu, maka perlu klasifikasi tujuan tersebut, yaitu;
tujuan individual, tujuan social masyarakat Islam serta tujuan profesionalis manusia
(peserta didik).
Untuk mencapai tujuan tersebut, Al-Qur’an juga berperan dalam
mengajarkan manusia, diantaranya; Al-Qur’an mendidik manusia melalui
ayat-ayatnya (Al-A’laq [96]: 1-6), Al-Qur’an mendorong manusia untuk berfikir
tentang kehidupan dan fenomena alam (Ali Imran [3]: 190). Serta dalam membentuk
karakter, Al-Qur’an mengajarkan manusia untuk menjadi pribadi Muslim yang
berkarakter (Islamic character) (An-Nur [24]: 30) melalui ayat-ayatnya.
Karakter Manusia sebagai Hasil Produk Pendidikan Islam (Kesimpulan)
Islam tentu sangat memuliakan manusia. Proses pembinaan dan
pendidikan manusia dalam konsep Islam diperkaya oleh contoh ideal, yaitu
madrasah nabawiyah (model pendidikan Rasulullah SAW) yang berhasil
merubah karakter manusia dari jahiliyah menjadi Islamiyah. Jadi,
pengenalan terhadap eksistensi manusia sangat penting untuk menentukan proses
belajar dan pembinaannya. Eksistensi manusia juga dijelaskan dalam Al-Qur’an
dan dapat membantu proses pendidikan tersebut.
Dua hal yang perlu diperhatikan dalam melahirkan manusia yang
berkarakter kuat dan baik, yaitu; kelengkapan aspek pendidikan manusia dan
berorientasi kepada visi tugas hidup manusia, yaitu khalifah fi ardh dan
hamba Allah SWT yang menunaikan amanah. Jadi, pendidikan karakter dlam
perspektif Islam adalah pendidikan akhlak yang berorientasi tidak hanya kepada
duniawi saja tapi juga ukhrawi.[sm]
Wallâhu’alâm
bî al-shawwâb
izin baca
BalasHapus